Minggu, 09 Januari 2011

Ketika Hutang Menjadi Gaya Hidup

"Saya rasa tidak ada yang bisa memprediksi kapan negara bisa melunasi utangnya jika tidak ada tindakan untuk mengurangi mental berhutang. Bayar besar, utang juga besar. Sampai tujuh turunan saya-pun kalau kondisi seperti ini terus berlangsung, negara tidak akan bisa melunasi utangnya," ungkap Ketua Koalisi Anti Utang Dani Setiawan ketika dihubungi detikFinance, Minggu (9/1/2011).
Ketika Hutang Menjadi Gaya Hidup
Semakin lumrah saja hidup dengan kredit atau hutang. Semakin mudah kita bisa berutang, semakin modern hidup kita. Bahkan negara, agaknya mengamini gaya hidup seperti ini. Diantara fenomena negeri ini rasanya sudah "aneh" bila tidak memiliki rumah bagus, mobil bagus, perabotan dan peralatan rumah yang bagus. Baiklah untuk saat ini saya tidak mengajak anda berfikir keras bagaimana cara negara melunasi hutangnya kelak. Saya lebih tertarik membahas penyebab "terbiasanya" budaya berhutang, mengapa seseorang bisa membeli barang mewah dengan begitu mudah, padahal sehari-harinya hidup miskin, karena penghasilannya setiap bulan habis untuk membayar berbagai cicilan yang seakan tidak pernah lunas. 


Dari sekian banyak penyebab, saya rasa salah satu jawabannya adalah berkat si kartu ‘ajaib’ alias kartu kredit. Kemudahan untuk memiliki kartu kredit membuat fungsi kartu plastik itu berubah, dari alat pembayaran sementara menjadi fasilitas untuk berutang. Di lobi-lobi pusat perbelanjaan, bank penerbit kartu kredit rajin menggelar gerai, menawarkan kartu kredit dengan berbagai iming-iming menggoda. Dengan syarat yang relatif ringan, rasanya hampir semua orang kini bisa punya kartu kredit. Bahkan, kartu platinum yang dulu hanya diberikan kepada kalangan tertentu, kini ditawarkan secara bebas.

Memang menggoda punya tas bermerek atau sepatu rancangan eksklusif desainer. Selain hati puas, juga muncul rasa pede, karena rasanya semua mata memandang kagum. Atau, bila ingin hangout di tempat-tempat gaul terbaru, rasanya kurang gaya kalau tidak nongkrong di kafe atau resto yang sedang menjadi buah bibir. Memuaskan diri demi tuntutan gaya hidup masa kini, rasanya memang tidak akan ada habisnya. Berbagai benda fashion, gadget, hingga otomotif, siap menggoda iman semua orang. Setengah sadar, kita pun merogoh kocek lagi hanya demi gengsi sesaat itu.
Inilah Bukti paling kongkrit gaya hidup konsumtif. Ironis, setiap bayi Indonesia yang terlahir menanggung beban utang, sementara gaya hidup masyarakatnya masih terus menikmati utang luar negeri. ini kita lihat pada serangan besar-besaran promosi kartu kredit (credit card), belum lagi iming-iming discount dan kemudahan yang ditawarkannya membutakan hati orang yang tidak cerdas pola konsumsinya. Negeri kita menjadi salah satu target paling empuk para penjaja bisnis kartu kredit ini.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa orang-orang yang berpenghasilan menengah ke bawah ikut-ikutan membeli barang-barang mewah tersebut? Jawabannya, beberapa tahun belakangan ini yang dibangun oleh pemerintah adalah karakter masyarakat yang materialistis. Menjamurnya pusat perbelanjaan, kafe, dan tempat hiburan, membuat orang jadi konsumtif. Begitu pula perlakuan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Sebagai contoh para sales promotion girl (SPG), hanya akan menawarkan produk mereka kepada orang-orang yang penampilannya keren, dan memandang sepi orang-orang yang penampilannya biasa-biasa saja. Contoh lainnya, Kalau kita masuk ke butik mewah dengan dandanan seadanya, bisa jadi pramuniaga akan melemparkan pandangan meremehkan, bahkan penuh curiga. Sebaliknya, kalau kita masuk ke pusat perbelanjaan dengan mengendarai mobil mewah, biasanya petugas parkir akan segera mencarikan tempat parkir yang strategis di dekat pintu masuk. Begitulah, orang kaya atau kalangan elite, sepertinya memang dianggap layak mendapatkan perlakuan istimewa. Tak heran jika orang berlomba-lomba agar bisa masuk kekalangan tersebut, atau –paling tidak– terlihat demikian. Hal-hal seperti inilah yang membuat orang ingin punya image bagus, agar mereka lebih dihargai.
“Zaman sekarang, apa, sih, yang tidak bisa dimiliki? Asal berani nyicil, barang apa pun bisa dibawa pulang.” Begitu kira-kira ungkapan si pengguna kartu kredit. Belakangan ini bahkan mulai bertaburan tawaran berbagai kredit barang dengan bunga nol persen atau dengan cicilan ringan. Siapa pula yang tak tergiur? “Ya, kalau bukan lewat kredit, rasanya agak mustahil bisa memiliki barang-barang yang selama ini hanya bisa mampir dalam mimpi.” Kilah si pengkredit, “Mau menabung dulu, pasti terlalu lama, dan barangnya sudah keburu out of date atau harganya sudah naik.” Sayangnya, kita jadi sering lupa mengukur kemampuan, hingga akhirnya terlilit utang.
Bagi mereka yang mampu, tentunya tak ada masalah dengan pelunasan barang-barang yang telah didapatkan melalui kartu kredit. Namun, mereka yang dengan gaji pas-pasan ada kemungkinan gaya hidup seperti tersebut di atas disebabkan oleh keadaan psikologis seseorang. Mereks bisa jadi dalam keadaan depresi, sedih, atau kecewa. Keadaan hidup yang sulit seperti sekarang ini membuat orang merasa perlu menghibur diri, atau sesekali ingin juga merasakan gaya hidup mewah. Misalnya, karena pernah ditraktir teman di sebuah restoran mewah, ia lalu berpikir, “Wah, ternyata enak juga, ya, jadi orang kaya.” Eh, akhirnya malah keterusan. Mereka sering kali pandai memanipulasi alasan, sehingga kebutuhan untuk memiliki suatu barang menjadi masuk akal.
Memang sifat hedonisme tidak mengenal batas usia, tidak mengenal juga strata hidup . Namun, biasanya yang rentan terhadap perilaku seperti ini adalah mereka yang pribadinya tidak matang dan tidak sanggup untuk mengkontrol diri. Dalam keadaan seperti ini, prioritas dalam menggunakan uang pun ikut terpengaruh. Uang yang seharusnya untuk membayar cicilan rumah, malah dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak urgent.
Sebagai contoh, Kebiasaan untuk berbelanja tanpa adanya kontrol yang ketat dan berburu barang sale membuat seseorang terjebak dalam pola belanja gila-gilaan. Obsesi berbelanja itu bukan timbul karena mereka membutuhkan benda-benda yang mereka beli, melainkan karena ingin dihargai dan diakui. Kalau mereka menyebut itu sebagai rasa bahagia, itu hanyalah kebahagiaan sesaat. Karena, kebahagiaan memiliki makna yang dalam. Bagaimana bisa bahagia, kalau kita membohongi diri sendiri dan orang lain, serta dikejar-kejar utang.
Inilah suatu penyimpangan kebiasaan. Ada pergeseran kebiasaan yang tidak produktif, yaitu membangun kebiasaan yang tidak ada gunanya, hanya supaya dikagumi orang. Jika digali lebih jauh, bisa jadi ada unsur tidak percaya diri yang menjadi faktor penyebab terjadinya perilaku tersebut. Kalau barang mewah yang melekat di tubuh itu satu per satu dilepaskan, orang yang bersangkutan akan merasa tidak nyaman lagi.
Lalu, dari mana kita tahu bahwa kita sudah terjerat kemewahan? Jawabannya adalah jika utang kita sudah bertumpuk dan menjadi gaya hidup, sehingga porsi uang untuk membeli barang kebutuhan pokok jadi berantakan. Hidup pun jadi tidak seimbang. Porsi makanan dan vitamin dikurangi, hanya demi memenuhi tuntutan gaya. Bahkan, mereka yang sudah nekat menarik uang tunai lewat kartu kredit, sudah masuk tahap ‘kanker’ (kantong kering), sehingga harus ‘dikemote-rapi’ habis-habisan.
By Farizal
  • Share On Facebook
  • Digg This Post
  • Stumble This Post
  • Tweet This Post
  • Save Tis Post To Delicious
  • Float This Post
  • Share On Reddit
  • Bookmark On Technorati
Blog Gadgets

1 comments:

Ahmad Syariefudin mengatakan...

Kalimat terakhir paragraf pertama mungkin perlu diedit. Tidak ada orang miskin yang bisa menerbitkan kartu kredit untuk membeli barang mewah.

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...